"Usia
pernikahanku menginjak 8 bulan. Cukup banyak cerita yang terekam dalam memori,
kalaulah pengalaman itu bisa diulang atau dihentikan dengan mudah, rasanya aku
ingin kembali melompat ke hal-hal yang menyenangkan saja. Tak usahlah cerita
kesedihan itu diungkit kembali. Namun, hakikat sebuah perjalanan, semua hal,
menyenangkan pun buruk adalah guru terbaik sepanjang masa."
THE
TRIGGER
Mengingat
bagaimana proses aku menikah dulu, rasanya tidak pernah menyangka. Cepat dan
tanpa hambatan. Allah memudahkan semuanya. MasyaAllah. Memang untuk memulai
atau meniatkan untuk setidaknya mempersiapkan menikah bukanlah hal ujug ujug
bisa diputuskan dengan mudah. Kala itu, aku mulai mempertimbangkan ketika aku
berada di tahun ke-4 perkuliahan. Sebatas, aku butuh teman hidup untuk diajak
berdiskusi bersama. Usia nanggung antara remaja tua menuju dewasa.
Aku
adalah anak tunggal dan… bukan sesuatu hal yang bisa dijadikan suatu kelebihan.
Beberapa teman mengatakan, “enaknya jadi anak tunggal, bisa dapet apa aja ya.”,
“…gaperlu bagi-bagi ke adek…”, “gak ada yang rese dan ganggun.”, dan
sebagainya. Allah memberikan rejeki pada keluargaku, ya begini apa adanya.
Seringkali aku berandai-andai, bahkan menyalahkan keadaan (maaf) orangtuaku. Hingga
kondisi itu acapkali membuatku kesepian bila berada di rumah.
Diawali
dari kondisi ku sebagai anak satu-satunya, aku ingin sekali mempunyai hubungan
khusus, intens, dengan seseorang yang sebaya (once more, lawan jenis), layaknya
satu keluarga. Namun, sama sekali aku belum kepikiran untuk menikah. Meskipun
orang tua ku sudah sangat menginginkan kehadiran cucu. Ha. Tahun ke-4 kuliah.
Seminar
pra-nikah beberapa kali kudapatkan dan memang ada juga yang sengaja aku
mendaftarkan diri. Itu terjadi di tahun 2018. Kubulatkan tekad untuk
mempersiapkan diri untuk menikah. Membuat biodata yang berisikan visi, misi,
tujuan pernikahan, mimpi jangka pendek menengah dan panjang dimatangkan lagi,
kriteria pasangan yang diinginkan seperti apa, dan persiapan persiapan lainnya
seperti ruhiyah, mental dan pikiran.
Jadilah
biodata untuk diajukan sebagai bahan Ta’aruf. Aku menggunakan proses tersebut,
karena memang aku mempercayai bahwa itu salah satu cara terbaik untuk
meminimalisir bisikan bisikan setan yang malah bisa menjerumuskan niat agung
(meskipun orang tua sudah saling mengenal). ‘Kesucian’ proses akan menjadikan
pernikahan yang insyaAllah sakinah, mawaddah wa rohmah. Aamiin.
Hal
pertama yang aku lakukan disamping membuat biodata adalah, melepaskan perasaan
hati yang menitikberatkan pada kriteria dan penampilan seseorang. Sudah
alamiahnya, kita punya kecendrungan terhadap lawan jenis yang apalagi di
umur-umur mendekati sarjana, sudah mulai untuk kearah lebih serius. Bukan untuk
kebahagiaan sekejap. Beberapa ‘tokoh senior’ kerap aku dambakan untuk menjadi
pendamping hidup. Dengan ilmu pernikahan yang masih bisa kukatakan belum
ada-apa-apanya, baru sekedar keinginan.
Bermula
dari aku menyebut nama-namanya di dalam do’a, sampai dengan aku pasrahkan
kepada Allah, ‘pertemukanlah aku dengan jodoh terbaik pilihan-Mu, ya Allah.’
Bukan proses yang mudah juga untuk menghilangkan perasaan perasaan pada
beberapa sosok manusia. Di tahun kedua, berati 2020 aku baru memutuskan untuk
tidak menyebutkan nama dan ikhtiar juga berdoa dengan lebih giat lagi.
Proses
pertama dan beberapa proses setelahnya aku lalui penuh dengan ‘per-pasrahan
kepada Yang Maha Kuasa’. Semoga dilindungi dari godaan godaan setan yang
bersifat duniawi. Hingga akhirnya pertengahan tahun 2020, Allah mempertemukan
ku dengan jodoh terbaik pilihan-Nya.
Awal
tahun itu bermula dari bencana banjir diikuti dengan munculnya covid-19 di
bulan Februarinya. Pertengahan bulan Maret, aku berada di Wisma Atlit untuk
menjadi relawan bagian data dibawah PDPI, singkatnya dibawah Dokter Paru. Hari
hari dilalui dengan beragam rasa. Senang ada aktivitas baru, bertemu teman dan
orang baru hingga sampai pada titik jenuh karena seringkali berada depan laptop
memantau data data pasien Covid yang yaah masih acak adul lah boleh dibilang.
Jenuh
dirasakan, ‘mau sampai kapan aku begini terus’. Padahal itu baru sekitar 3
bulanan. Karena memang rutinitas hanya kamar-ambil makan-kadang masuk tower pasien-kamar
lagi-indomaret deket wisma-dan berulang kembali.
Memasuki
bulan Ramadhan, entah, ada dorongan untuk serius kembali mengenai pernikahan. Berdoa
dalam setiap sholat wajib pun sunnah, infaq dan sedekah dengan do’a untuk
dimudahkan dalam urusan pernikahan, konsisten beribadah, juga ikhtiar dari
orang tua dalam mencarikan anaknya jodoh pilihan-Nya. Dorongan untuk menata
kembali hati, menambah wawasan pernikahan itu terasa kuat sekali. Tidak ada
faktor eksternal yang mempengaruhi. Murni dari diri sendiri. Cara Allah
membolak-balikan hati hambanya sebegitu indahnya ya. Menonton kajian series
pernikahan, membaca buku psikologi laki dan perempuan, dsb.
Yah
kehidupan terus berlanjut sebagaimana mestinya. Aku tetap melakukan rutinitas
ku di wisma atlit. Liburan yang hanya sekitar 5 hari di rumah. Kemudian kembali
lagi ke wisma, dan seterusnya. Disaat aku harus bekerja lembur sampai malam,
datanglah kabar dari orang tua perihal proses dengan seorang laki-laki. Ini
sudah pernah kubahas di feed instagramku. Bisa dilihat di …. (masukin linknya)
After Marriage
I
don’t know about him at all. Durasi perkenalan yang singkat membuatku tidak
banyak mengenal sosok yang sudah menjadi suamiku ini. Setelahnya, kutahu bahwa
ternyata ia menyimpan sisi keromantisan dibalik keseriusan wajah yang
ditunjukkan. Bahkan aku merasa mati gaya harus melakukan apa pada saat awal
awal pernikahan. Kita berdua punya tipikal sama bila dihadapkan dengan orang
baru.
Hari
hari berlalu, dan mulai tumbuh rasa cinta yang tidak pernah kurasakan
sebelumnya. Sudah halal pula. Bersamaan dengan tumbuhnya makhluk kecil dalam
perutku, badai kondisi finansial pun datang. Suamiku resign dari perusahaan
sebelumnya. Pun aku, tidak bisa berbuat banyak dengan kondisi pandemi dan hamil
muda. Suka duka dirumah mertua juga, kalau kata suami.
Akhirnya,
di usia kehamilan yang menginjak 4 bulan, kami memutuskan untuk mengontrak
rumah petakan. Lokasinya tidak jauh. Bila berjalan kaki, memakan waktu sekitar
10 menit. Alhamdulillah, pindah ke rumah kontrakan membuatku lebih mandiri lagi
mengurus rumah, tentunya dengan bekerjasama dengan suami. Kondisi yang ‘serba
merendah’, acapkali membuatku letih untuk beraktivitas. Posisi duduk ke berdiri
membutuhkan kinerja maksimal dari otot-otot kakiku. Adakalanya kami, sama sama
malas untuk bangun ketika sudah dalam posisi duduk.
Pikiranku
terus kupaksa untuk berpikiran positif. Beberapa perbedaan karakter terkadang
menjadi masalah tersendiri dikala aku sendiri sulit untuk mengontrol emosiku
yang sedang naik turun tanpa bisa dikendalikan. Pola dan rutinitas suami yang
berbeda juga membuatku banyak beristighfar dan menyerahkan kembali kepada
Allah. Meminta kekuatan untuk bisa melewatinya tanpa menganggu kestabilan janin
dalam kandungan.
Sempat
suatu ketika, suami ku mendapatkan projek di daerah Banten. Aku pun merasakan
LDM pertama kali. Dulu pada saat perkenalan pertama kali, aku tahu bahwa
pekerjaan suamiku akan membuat beberapa waktu kami terpisah oleh jarak. Kala
itu, aku belum pernah merasakan hubungan jauh dengan siapapun, sehingga, aku
berkata bahwa itu bukan menjadi masalah besar. Tapi kenyataanya, dengan jarak
Banten-Bekasi, 6 hari tanpa bertemu itu berat sekali. Sangat sangat berat L
Sekitar
2 bulan aku dan suami hidup di kontrakan. Alhamdulillah, Allah memberikan
rezeki pada suami pekerjaan. Suamiku diterima bekerja di sebuah NGO. Ditugaskan
di daerah Kalimantan Tengah. Dan ini menjadi tantangan baru lagi untuk kami.
LDM
Januari
2021 adalah bulan dimana kami harus berjarak cukup jauh dengan rentang waktu
yang tak sebentar pula. Niat awal pada saat menerima projek adalah aku ikut ke
kalimantan tengah, tepatnya daerah Sampit kecamatan Parenggean. Usia kehamilan
yang masih berada pada trimester 2 tidak membuat khawatir dengan kondisi
perjalanan nantinya. Naik pesawat, naik mobil berjam-jam. Namun, rencana itu
urung dilakukan. Mas ada training dulu selama 1,5 bulan di daerah Manado,
Sulawesi Utara (aku makin iri dia sudah berkiling daerah daerah).
See,
kadang rencana kita tidak berjalan sesuai dengan apa yang Allah tetapkan. Baiklah
aku menguatkan diri kembali, meskipun hari hari sebelum keberangkatan terasa
sangat cepat dan sedih.
Benar
saja, selang 1 hari Mas berangkat, rasa rindu itu tak berbendung. Bahkan
beberapa hari setelahnya. Air mata tak bisa dibendung lagi. Ini tuh sama
perasaanya seperti aku SMP dulu saat boarding school. Bedanya sekarang
sama suami. Hiya hiya.
LDM
lagi hamil sulit bung. Kondisi trimester 2 menuju trimester 3. Lagi merasakan
letihnya fisik juga hormon yang meningkat kembali di akhir kehamilan. Dan tanpa
suami. Hadirnya orang tua sangat membantu dalam kehamilan. Yah, meskipun ada 1
bagian yang menghilang. Tak lengkap rasanya.
Mungkin
itu dulu yang bisa kuceritakan mengenai perjalanan pernikahanku sampai detik
ini. Sekian. Semoga ada hikmah yang bisa diambil ya.
Komentar
Posting Komentar