“Setelah menjadi Ibu, beberapa hal menjadi kelabu
untuk terlihat. Adakalanya tak tampak sama sekali. Kehidupan orang lain terkadang
kujadikan alasan untuk ‘mengasihani diriku’. Mereka memiliki kehidupan luar
yang terlihat jauh lebih bervariatif. Aku seringkali merasa frustasi dengan
emosi yang mudah sekali berubah.
Tak jarang pula, aku merasa sendiri di tengah ramainya
manusia, ditengah rutinitas sehari-hari dengan pemandangan lalu lalang manusia.
Aku merasa kehidupan ini semakin monoton. Tapi…disaat yang sama, ada jiwa jauh
dibawah sana meronta untuk segera lets get over with this and do different!”
PROLOG
Perbedaan antara sebelum dan setelah menikah bagi
perempuan, sangat jauh sekali. Terlihat kontras jika ingin diumpamakan dengan
warna. Sebut saja bagai merah
dan kuning. Berbeda bukan?
Yang dulunya sendiri, menjadi berbagi peran dan
tanggungjawab. Yang sebelumnya bisa memilih untuk dirinya sendiri menjadi penuh
pertimbangan dari berbagai sudut pandang. Yang dulunya mungkin bisa ber-drama
ria sepuasnya menjadi memiliki dramanya sendiri. Juga ada lelah, bimbang yang
terasa berkali lipat setelahnya. Dan senang yang terasa berkali lipat
bersamanya J
Semua hal yang terjadi sejatinya adalah sebuah kisah
lucu dan unik. Kisah yang akan membuat kita tersenyum dan merasa getir saat
memikirkan kembali. Kisah yang akan menggambarkan bagaimana aku…kita… menjalani
kehidupannya. Ada suka, duka dan luka. Aku ingin menceritakan bagaimana
kehidupanku saat yang ini menjalani 3 peran dalam 1 waktu, sebagai Ibu, Istri
dan juga Diriku sebagai makhluk individu dan sosial.
IBU
Awalnya peran Ibu ini terasa asing buatku. Tidak ada
cerita, aku mengganti popok, membantu menjaga adik, bahkan adik sepupuku kala
masih bayi pun aku tidak berani untuk menggendong. Dan, memiliki anak tidak
hanya sebatas memberi makan, mengganti popok dan baju, tapi lebih dari itu. Antara
memenuhi kebutuhan tangki diri sendiri, kebutuhan tangki suami, juga tangki
anak.
Adanya Abang, dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun
pernikahan, yaa membuat begitu banyak drama yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya. Adaptasi menjadi istri, juga menjadi ibu. Sepertinya, aku hampir
mengalami baby blues yang terjadi beberapa hari setelah Abang lahir. Kondisi
yang belum pulih seutuhnya, ditambah dengan adanya makhluk kecil yang harus
diberi asupan, susu, kenyamanan, cinta… yang bahkan aku juga membutuhkan untuk
diberi cinta….dan perhatian (haha). Ucapan ‘semangat mengasihi’ terasa mengena
buatku, ‘ooh ini maksud kalimatnya’. Sebelumnya, aku tidak tahu apa arti dari
kalimat tersebut, (maaf) terkesan basa-basi. Ternyata, prosesnya bisa membuatku
takut melihat anakku sendiri menangis minta susu. Iya, sakit sekali, merasa
payah dalam segala hal, ngilu dan letih luar biasa. Proses pemulihan
persalinanku dibarengi dengan terkenanya covid-19. Ayah, umi, suami, aku dan si
Abang, sampai-sampai di usia belum genap 1 bulan, aku harus berpisah selama
beberapa hari dengan anakku karena kami dirawat di RS.
Rasa tidak sanggup menghantuiku pada awal-awal menjadi
Ibu. Ini sudah diluar ekspetasiku, kemana tawa lucu bayi yang katanya bisa ikut
membuat orang yang melihatnya tersenyum, kemana perginya kenyamanan ketika
tidur kala lelah melanda, kemana perhatian orang-orang yang dulu kudapatkan
saat masih mengandung, kemana nikmanya makan saat aku merasa kelaparan, ooh ya
bahkan aku tidak merasakan rasa lapar sama sekali, sakit fisik jauh lebih terasa.
Intinya aku merasa dalam keadaan jatuh sejatuh-jatuhnya menjadi perempuan pada saat
awal-awal menjadi Ibu.
Aku tidak memungkiri pasca persalinan anak pertamaku
terkesan jauh dari kata baik. Memoriku merekam sesuatu yang ‘unexpected’.
(Ya Allah, jadikanlah aku sebagai hamba-Mu yang selalu bersyukur atas segala
ketetapan-Mu.) Suatu rangkaian proses yang membuatku merasakan betapa
dahsyatnya perjuangan untuk menjadi Ibu. Kondisi fisik yang tidak mampu
membersamai buah hati di awal-awal kehidupannya.
Sekitar 2 bulan setelahnya, aku mulai pulih, baik
secara fisik maupun mental. Aku mulai nyaman untuk beraktivitas, anakku sudah
mulai tertidur pulas pada malam hari, terbangun-minum susu-kembali tidur.
Setidaknya aku bisa merasakan rutinitasku yang baru dengan hati dan badan yang
ringan.
Menjadi Ibu juga tentang beradu prioritas. Tidak
jarang melepaskan kenyamanan berlama-lama depan layar, berlama-lama membaca
buku. Sulitnya bertemu teman untuk sekedar melepas penat juga menikmati makanan
dengan lahap. Dan berbagai aktivitas lainnya yang bisa dengan mudah dilakukan
saat sebelum melahirkan anak. Aku membeli sebuah novel di saat mendekati
masa-masa HPL, dan baru terbaca 2 bulan setelahnya.
Bukanlah hal buruk menjadi Ibu. Sungguh, Ibu adalah
peran dengan keistimewaan yang tidak bisa digantikan dengan peran lainnya pada
diri seorang perempuan. Besar ganjarannya di mata Allah bila kita ikhlash dalam
menjalani peran ini. Yaa memang apalah daya manusia, tanpa kekuatan sang Ilahi.
Sebagai anak tunggal, tentu ini adalah hal yang sangat baru bagiku. Dan sebagai
perempuan yang menjalani hubungan jauh dengan suami, ini bukanlah hal mudah
untuk dilalui.
Sering tangis sedih juga haru hadir saat bersamaan
melihat tumbuh kembang anak yang sedemikian cepat. Abang yang sudah 1 tahun
sekarang. Tak lama pula, insyaAllah, akan terlahir kembali anak kedua ku. Masya
Allah. Rasa payahku kembali terasa. Nikmat menjalani peran Ibu ditengah
kehamilan anak kedua. Sungguh Allah Maha Mengetahui kemampuan hamba-hamba-Nya.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah J
Abang yang sedang dalam fase aktif. Mulai kesana
kemari, belajar untuk bediri sendiri, rembetan, bahkan sebentar lagi akan
berjalan. Kehamilan yang mulai terasa melelahkan. Sakit disana sini. Badan yang
kembali terasa berat. Hormon yang kembali naik turun. Emosi yang harus kutata
dengan rapi agar keluar pada tempat yang tepat. Manajemen waktu yang semakin
harus diatur agar tetap terlaksana sesuai dengan masanya. Tidak egois menuruti
keinginan untuk menjadi kaum rebahan. Itu adalah beberapa kepingan rutinitas
dan kondisi yang menggambarkan kehidupanku saat ini. Wahai, aku tidak ingin
bermaksud untuk berkeluh kesah, tapi ini juga merupakan upayaku menguraikan apa
yang saat ini bergumul dan berkecamuk dalam pikiranku.
Acapkali aku tidak mengerti apa yang sedang kubutuhkan
untuk healing. Terlalu banyak hal yang dipikirkan dalam satu waktu atau malah
mungkin sesungguhnya akulah yang membutuhkan saran agar bisa memanfaatkan waktu
dengan bijak dan sebaik mungkin. Keinginan yang tak selamanya dapat terpenuhi. Ingin
kembali pada masa dimana aku bisa dengan mudah memutuskan dan melakukan rutinitas
harian.
Berhenti sejenak menjadi Ibu (ketika anak tidur atau
sedang bermain bersama orang lain), adalah hal dimana aku bisa menyusun kembali
pikiranku. Mengelompokan hal-hal yang terasa sangat campur aduk karena kurangnya
waktu untuk diri sendiri.
Namun dengan menjadi Ibu, aku bisa lebih menghargai
waktu dan melatih rutinitas harian, agar semua dilakukan sesuai pada tempatnya.
Tidak berlebihan. Ya mungkin adakalanya aku menghabiskan banyak waktuku dengan
bermain gadget (ketika anak sedang bermain dirumah neneknya). Tapi itu
juga membuatku bosan jika berlama lama menggunakan gawai, aku menjadi
kehilangan target yang harusnya bisa kucapai dalam sehari. Waktu yang begitu
luang menjadi bumerang tersendiri bagiku.
Menjadi Ibu adalah hal yang sulit untuk didefinisikan
dengan kata kata yang singkat. Bahkan mendefinisikan aku sebagai ibu pun tidak
mudah rasanya. Selalu ada emosi dalam setiap momen yang tidak mampu terbendung
jika aku menceritakan secara detail apa dan bagaimana kehidupan seorang Ibu.
Kekuatan dari Allah lah yang menjadi penguat harianku dan hari hari kedepan. Jalan masih panjang. Semoga aku dapat memaknai rencana-Mu dengan bijak dan hati yang kuat.
ISTRI
Aku mencoba menggambarkan dari sudut pandangku sebagai
seorang istri. Yang pada praktiknya, tentu ada andil suami yang juga berusaha
melakukan penyesuaian-penyesuaian ketika perannya bertambah menjadi seorang
ayah. Tapi aku tidak tahu betul bagaimana dan apa rasanya. Sehingga POV ini
adalah aku sebagai seorang istri.
Tidak melulu tentang anak, ada sisi aku sebagai
perempuan yang sudah memiliki pasangan secara sah baik dari segi agama dan
negara. Ada sisiku yang kadang sedih jarang sekali kuperhatikan. Bahwa tampil
rapih dan bersih adalah dambaan para suami yang pulang bekerja pun ketika
berada di sisi sang istri. Aku tahu betul akan itu.
Sebagai istri aku perlu untuk selalu menghadirkan
penyesuaian penyesuaian ditengah kekisruhan dan badai yang acapkali datang
melanda. Saat lelah menjadi ibu. Aku butuh ruang juga waktu untuk memaknai
peranku sebagai istri. Bukanlah hal mudah. Seringnya, emosiku lebih berperan
dan unggul dalam segala hal. Bahwa ada suami, yang ketika pulang kerja, tidak
ingin disibukkan dengan berbagai hal yang tejadi pada hari itu, yang padahal
juga, aku sangat ingin menumpahkan emosi untuk membuat perasaan menjadi lebih ringan
dan kembali terkendali.
Ketika sudah lelah membersamai anak, ada suami yang
juga harus terpenuhi kebutuhannya. Segala macam kebutuhan. Sudah pasti ada kata
saling ketika membahas mengenai peran sebagai suami pun istri. Sama sama
memberikan dan menerima. Dari segi memberi, aku berlatih untuk mengesampingkan
egoisitas yang kadang mampir untuk merubah peran menjadi individu yang butuh
waktu sendiri.
Pernikahan adalah ladang ku untuk mengenal sesosok
yang sama sekali asing. Yang pada 22 tahun pertamaku, aku tidak pernah belajar
untuk berbagi cerita bahkan emosi pada lawan jenis secara intens. Kecuali ayah.
Ya dengan orang tua pun ada batasannya.
Menjelang 2 tahun pernikahan. Masih banyak hal yang
harus diperbaiki. Ditambah kami jarang sekali tinggal pada satu atap dalam
jangka waktu yang lama. Pekerjaan suami yang memang seringnya berada di luar
kota juga kondisi kehamilan yang membuat aku dan suami berjarak.
Awal-awal menjalani kehidupan LDM atau MDR, banyak
sekali salah paham yang terjadi. Bahkan komunikasi lewat video call pun tak
bisa meluruskannya. Aku menjadi frustasi dibuatnya. Kondisi kehamilan juga
memperparah sangkaan negatif terhadap pasangan. Namun seiring berjalannya
waktu, konfirmasi saat bertatap muka langsung, membuatku menjadi less insecure
dan tidak terlalu mempermasalahkan jika memang ada salah paham kecil. Bukan
salah paham sih, lebih kalo gak direspon apapun padahal sudah cerita panjang
lebar. Yang dulu, aku menganggap ini cerita ga penting ya, ko gada respon sama
sekali wkwk. Tapi semakin kesini, yah paham lah bahwa merespon lewat video call
kadang memang tidak mudah terbaca gelagatnya dibandingkan dengan bertemu
langsung.
Sebagai istri aku juga harus mampu untuk melawan rasa
rindu yang kerap menyergap jika aku membutuhkan tempat sandaran. Untuk melepas
penat atas rutinitas sehari-hari yang berimbas pada kembalinya kekuatan dalam
menjalani hari esok. Lagi-lagi video call adalah jurus jitu mengusir
kegundahan. I can see his face and knows his condition. Everything will be fine
again. For most of the time, but, Not always :’))
Seni menyampaikan rasa sayang juga terus kuasah.
Pembelajaran pembelajaran dari hubungan orang tuaku juga sebisa mungkin
kuterapkan untuk mendapatkan kenyamanan dalam membangun ikatan dengan suami.
Hal-hal yang bisa menjadi timbulnya percikan percikan kemarahan, sebisa mungkin
kutekan. Seperti banyak mengeluh. Well, my life before is full of gumaman
gumaman mengesalkan yang kerap keluar dari seorang anak tunggal. Hidupku terbilang
nyaman tanpa adanya saingan didekatku. Their love is only for me.
AKU
Banyak hal yang masih ingin kulakukan pada usiaku saat
ini. Karir pun pendidikan. Yah klasik sih memang, mayoritas orang akan berkutat
untuk melakukan dua hal itu dalam menjalani kehidupannya, yang…tak semuanya
berjalan sesuai dengan keinginan.
Dunia luar menjadi jarang sekali kujamah ketika aku
sudah berperan Ibu. Ada hal yang membatasi aku dalam melakukan aktivitas di
luar ruangan. Terasa sangat mengasyikkan saat suami sedang berada di rumah dan
kami berjalan-jalan, meskipun hanya membeli 1, 2 barang ataupun sekadar makan
di luar. Tidak harus jauh dan berdurasi lama.
Adapula ketika berseliweran lowongan pekerjaan yang
sesuai dengan passion dan juga pengalaman ku sebelumnya. Rasanya ingin sekali
mendaftar dan melupakan segala urusan rumah tangga barang sejenak. Namun,
kesempatan itu harus pupus ketika ahirnya aku akan ikut suami ke Kalimantan di
tahun lalu. Meredam segala keinginan untuk kembali terjun di dunia yang sama
ketika aku sebelum menikah.
Kini, menjadi Aku, bukanlah suatu hal yang harus terus
dikedepankan. Untuk beberapa waktu iya, seperti me-time. Aku sudah menjadi
bagian dari suatu sistem bernama keluarga. Dimana peran Aku, seringnya harus
menyesuaikan dengan kondisi kondisi yang ada. Bukan berarti tidak mungkin untuk
tetap terus melaju. Mungkin saat ini, peran sebagai Aku adalah di rumah dulu
untuk sementara waktu. Akan ada saatnya Allah memberikan hadiah terindah untuk
diriku.
Aku tidak membatasi peran satu dengan yang lain dengan
suatu garis yang jelas, karena itu bukanlah sebuah hal mutlak yang harus
dibedakan. Yang seringnya, dalam satu waktu, semua peran meminta jatahnya
sekaligus dimana sebagai individu aku harus pandai menata dan menempatkannya
dengan baik. Bila ada yang ingin memberikan saran atau mungkin sekadar berbagi
cerita, aku sangat terbuka. Aku butuh pandangan pandangan lain mengenai
kehidupan ini agar aku bisa terus bersyukur dalam menjalani kehidupan yang
sudah Allah tetapkan. J
“Belajar dan terus belajar adalah bagian yang ada dalam setiap fase kehidupan yang dilalui. Aku belajar banyak hal melalui peran-peranku saat ini. Terus menambah ilmu dari para pakar juga obrolan ringan dengan sesama teman seperjuangan. Seimbang dalam mengisi tangki-tangki cinta, cintaku kepada anak dan suami, juga mendapatkan cinta dari suami dan anak.”
Komentar
Posting Komentar